The Past Card
Sekarang ini aku lagi di Bandung. Udara di kota ini masih terasa sejuk meski kehidupan terus bergerak cepat. Kemarin Sabtu kebetulan temanku, Shofiyya, berkunjung ke Bandung dan memutuskan menginap di kosku. Shofiyya adalah seorang Human Design reader, kita punya minat yang sama soal astrologi dan spiritualitas manusia. Bedanya, aku nggak terlalu mendalami, sedangkan dia sudah jauh menyelami teori itu. Sekarang dia bahkan bekerja secara profesional sebagai Human Design dan Tarot Reader, dua hal yang mungkin masih dianggap awam oleh sebagian besar orang, tapi bagi kami berdua, itu adalah bagian dari cara yang unik untuk memahami diri dan semesta.
Kemarin Malam, tepatnya 15 Desember 2024, sebelum tidur, kita memutuskan untuk main kartu Tarot. Iseng saja sebenarnya, karena kebetulan Shofiy membawa kartunya. Awalnya, aku merasa skeptis soal ini, aku nggak bisa bohong kalau Tarot mengingatkanku pada hal-hal yang “dukun”, mistis, atau mungkin cuma hiburan.
Aku dapat kartu The Past. Katanya, itu adalah peringatan tentang masa lalu, kejadian lama, seseorang dari masa lalu, atau apapun yang berkaitan dengan sesuatu yang udah lewat. Dan anehnya, apa yang terbaca di kartu itu terasa begitu nyata hari ini. Masa lalu selalu punya kebiasaannya sendiri, datang gak diundang, baik membawa kenangan yang hangat atau luka.
Hari ini aku belajar satu hal: masa lalu itu hidup. Ia punya dua sisi—bisa menjadi pengingat yang indah atau batu besar yang menghambat langkah ke depan. Meskipun bukan aku yang mengalaminya secara langsung, aku ikut merasakannya. Dan, jujur saja, sekarang aku sedang berada di sisi yang kedua. Rasanya pahit dan menyedihkan.
Berurusan dengan manusia memang serumit ini. Manusia punya isi kepala yang sulit ditebak, hati yang mudah berubah, dan penyesalan yang tersimpan rapat di dalam jiwanya. Aku jadi berpikir, mungkinkah setiap manusia memang dilahirkan bersama penyesalan? Seolah-olah setiap keputusan yang di ambil selalu terasa salah ketika kita melihatnya dari kejauhan, dari masa depan yang akhirnya menjadi sekarang.
Satu hal yang menyedihkan adalah ketika seseorang terlambat sadar. Mereka kehilangan seseorang yang penting, dan baru setelah kepergian itu mereka dihantam rasa penyesalan yang tak tertahankan. Aku sering melihat fenomena ini: orang-orang yang ingin kembali ke masa lalu, memperbaiki apa yang terlanjur rusak, memohon kesempatan kedua yang mungkin sudah tidak ada. Mereka terjebak di sana—di masa lalu—sementara orang yang mereka usik sudah memilih untuk bergerak maju, mempersiapkan masa depannya sendiri. Ironis, ya? Rasa sedih bisa berubah jadi sesuatu yang lebih menyakitkan ketika tidak ada ruang untuk kembali.
Kadang aku juga merasa prihatin pada orang-orang yang mengambil keputusan dengan gegabah, tanpa benar-benar berpikir panjang tentang dampaknya. Padahal keputusan seperti itu bisa mengubah segalanya. Bisa membuat seseorang merasa gila, remuk, dan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Tapi di sisi lain, aku sadar, justru dari patah-patahlah manusia terbentuk. Struktur jiwa yang hancur itu pada akhirnya yang membuat manusia lebih kuat, lebih bijak, lebih tabah.
Mungkin hidup memang seperti itu: semua yang terjadi di dunia ini adalah karmic. Apa yang kita lakukan hari ini adalah benih dari apa yang akan kita tuai di masa depan. Kita bisa menyakiti dan disakiti. Dan seharusnya, ketika kita menyakiti seseorang, kita sadar bahwa suatu hari kita akan berada di posisi yang sama—terluka, kecewa, atau ditinggalkan. Saat kita disakiti, mungkin itu adalah refleksi dari sesuatu yang pernah kita lakukan di masa lalu.
Tarot semalam mungkin benar—masa lalu punya cara untuk mengetuk pintu yang sudah lama kita tutup. Kadang ia datang untuk memberi pelajaran, kadang ia datang hanya untuk memastikan kita tidak lupa bahwa hidup ini selalu berputar. Kita menanam, kita memanen. Kita melukai, kita terluka. Lingkaran itu terus berjalan, seolah mengingatkan bahwa tidak ada yang benar-benar hilang—semuanya hanya menunggu waktu untuk kembali.
Komentar
Posting Komentar