Bunga Tidur

Bacalah sembari memutar lagu Payung Teduh - Tidurlah

    Berbaring diam di sudut kamar, menatap langit-langit, membiarkan pikiran berkelana entah ke mana. Memikirkan hidup yang kadang terasa terlalu rumit untuk dipahami. Masalah datang silih berganti, bertabrakan dengan keinginan-keinginan yang tumbuh di dalam hati. Konflik batin pun menjadi tamu setia, hadir di sela hening, menyelinap di balik tawa yang dipaksakan. Tak banyak yang tahu, hanya hati yang diam-diam menanggung beratnya.

    Pikiran itu sering datang tiba-tiba, seperti hujan di musim kemarau. Kadang deras, kadang rintik, tapi tetap membasahi. Di malam hari, saat semua terlelap, bunyi detak jam terdengar begitu jelas, mengiringi langkah pikiran yang menelusuri lorong keheningan. Hal-hal yang ingin dilupakan justru hadir makin jelas. Padahal manusia punya banyak rasa untuk diungkapkan, tapi entah kenapa, lidah terasa kelu. Hanya dada yang sesak menahan apa-apa yang tak pernah terucap.

    Manusia selalu berusaha meraba takdir. Menebak-nebak apa yang akan datang besok, apakah kebahagiaan mau singgah, atau justru luka baru menanti. Seolah punya kuasa atas jalannya waktu, padahal sering lupa bahwa kemampuannya terbatas. Lupa bahwa dia hanya manusia biasa, yang bisa jatuh, rapuh, dan gagal kapan saja. Ingin menggenggam segalanya erat-erat, padahal seringkali yang perlu dilakukan hanyalah melepaskan.

    Pikiran datang dan pergi seperti bunga tidur. Mimpi yang hadir tanpa aba-aba, tanpa janji akan menetap atau kembali esok malam. Kadang bunga tidur itu indah dan menumbuhkan harapan. Namun, di lain waktu, berubah jadi gelap, menakutkan, membuat dada terasa sempit. Tak ada alur cerita pasti. Tak ada naskah yang bisa ditulis rapi. Hanya serpihan-serpihan rasa yang menempel di hati.

    Menjalani hidup pun kadang terasa seperti mimpi panjang. Kita berjalan di lorong waktu yang sempit dan gelap. Kadang berlari, kadang terhenti di persimpangan. Bingung, cemas, takut dengan masa depan dan segala hal yang belum tentu terjadi. Namun, di tengah semua kebisingan pikiran, manusia tetap belajar. Belajar berdamai dengan rasa takut. Belajar menerima bahwa tak semua hal bisa dikendalikan. Belajar ikhlas, meski tak mudah.

    Kadang cara bertahan hidup bukan berlari lebih cepat, tetapi duduk sejenak. Menarik napas dalam-dalam, merapal pelan: “Tuhan, jaga aku.” Kalimat sederhana itu menjadi jangkar di tengah gelombang batin yang tak pernah benar-benar tenang.

    Manusia memang rapuh, tapi di balik rapuhnya, selalu ada doa yang diam-diam disimpan. Ada harap yang tak pernah padam. Bahwa di balik segalanya, ada tangan Tuhan yang tak terlihat, tapi selalu menjaga. Waktu akan tetap melebur, mimpi akan tetap datang dan pergi. Yang perlu dijaga hanyalah hati, agar tetap kuat menatap esok, meski dengan langkah kecil. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertemuan Singkat

Menyukai Budaya

Tanpa Sadar, Menerangi