Bandung

    Tepat pada tanggal 10 Oktober 2024, aku menginjakkan kaki di Kota Bandung—kota yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk kukunjungi. Kota yang sudah ada di buku diary-ku sejak Oktober 2023. Saat itu, aku menulisnya karena memimpikan datang ke kota ini dan merasa bahwa suatu saat nanti aku harus ke sini. Ternyata, tulisanku saat itu menjadi nyata sekarang.  

    Pagi itu, aku berangkat dari Semarang ke Bandung. Ini kali pertamaku bepergian sendiri, kali pertamaku mencoba hidup mandiri. Sempat meragukan diriku, tetapi tekadku lebih besar daripada keraguanku. Di dalam kereta, aku memikirkan banyak hal tentang keputusan singkatku ini—apakah benar atau justru salah. Namun, aku tak ambil pusing dan tetap menikmati perjalanan. Aku melewati beberapa stasiun dan pemandangan indah sambil minum hot chocolate ala PT KAI.  

    Sampailah aku di Kota Bandung. Begitu pertama kali kakiku turun dari kereta, udaranya sudah terasa berbeda—sejuk dan tenang. Aku berjalan menyusuri setiap sudut stasiun dan mendokumentasikan beberapa foto. Dalam hati, aku berkata, "Aku suka kota ini." Ya, Bandung membuatku jatuh cinta secepat itu.  

    Aku berharap di sini aku bisa menemukan kembali diriku yang hilang, diriku yang tersesat. Aku berharap bisa sejenak beristirahat dari hidup yang penuh tekanan dan tuntutan. Di sini, aku lari—lari dari ekspektasi yang begitu besar, ekspektasi semua orang terhadapku. Aku merasa memikul beton, ditambah karung beras, ditambah lagi kulkas lima pintu dengan gajah di dalamnya. Hiperbola, memang, tetapi itulah gambaran beban yang kupikul saat ini.  

    Pergi ke Bandung adalah pilihan yang bijak, menurutku. Di sini, aku bisa berpikir lebih jernih dan tenang, tanpa merasa tertindas dan terintimidasi. Dorongan untuk mencari pasangan terus menghantuiku, bahkan perjodohan pun harus kualami. Itu membuatku sungguh tertekan. Kerumitan mencari dan menentukan pasangan hidup memang selalu menjadi beban tersendiri bagi setiap orang. Namun, aku bukan tipe yang mau memusingkan hal itu. Aku ingin semua hal dalam hidupku berjalan secara alami. Aku tidak ingin memaksakan sesuatu untuk terjadi.  

    Di Bandung, aku tinggal di Kosan Putri Sekeloa Timur—rumah kos dua lantai dengan jalan depan yang sempit, yang membuatku sering dimarahi ojol saat memesan Gocar. Jangankan mobil berpapasan, dengan motor saja, mobil harus ekstra minggir. Pantas saja sering dapat cancel. Tapi, justru itulah yang menarik dan menjadi cerita.  

    Di balik gang yang sempit itu, ada kamar kos yang nyaman dengan penataan sederhana, lega, memiliki dua jendela dengan pencahayaan terang. Kamar mandinya bersih dengan air hangat. Ada lemari kayu yang usang dengan banyak stiker mahasiswa yang tertempel, menggambarkan setiap penghuni kos sebelumnya. Di ujung kamar, ada meja kerja dan kursi sederhana, serta tempat tidur ukuran 90x200 cm yang hanya muat satu orang. Yah, ini tempat yang sempurna untukku. Semua serba cukup, pas sesuai kebutuhanku. Di sini, aku juga bisa memasak di dapur umum dan mengambil air galon yang dibeli secara bergilir.  

    Disini aku tidak mengenal siapa pun sebelumnya. Bahkan, kerabat atau teman pun tak ada. Orang pertama yang menyapaku adalah Bibi Kos. Aku ingat, dia memakai mukena saat membukakan pintu gerbang dan membantuku masuk ke kamar kos. Dia orang yang baik dan ramah. Beberapa kali kami mengobrol tentang keluarganya dan hal-hal random seperti tips beres-beres, meminjam alat kebersihan, dan beberapa kali bertegur sapa.  

Selain Bibi, ada Ibu Momoh—penjual nasi kuning di depan kos. Nasi kuningnya enak, ada tempe orek, bihun, dan telur dadar. Setiap membeli, juga dapat kerupuk. Aku sering beli sarapan di sana dan beberapa kali bertegur sapa dengannya.  

Orang ketiga yang kukenal adalah tukang galon. Ya, karena aku sering memesan galon, jadi aku sering bertegur sapa dengannya. Bapaknya ramah dan sedikit pemalu, beliau tidak punya WhatsApp, jadi kalau pesan galon harus SMS, dan aku selalu meminta seseorang untuk SMS karna diriku tidak pernah punya pulsa hahaha (terimakasih untuk seseorang itu).  

Keempat, tukang laundry. Karena sudah cukup akrab, aku bahkan tak perlu share location lagi saat Bapaknya mau mengambil cucian, dan karna sudah lumayan akrab beliau save nomor whatsappku jadi aku bisa melihat whatsapp story yang di penuhi editan CapCut itu haha..

Terakhir, tukang bakso di belakang kos. Karena kami sama-sama dari Jawa, dia sering mengajakku mengobrol pakai bahasa Jawa. Cukup asyik dan seru, baksonya pun enak. Suatu saat nanti, aku pasti mampir lagi! (Semoga).  

    Kehidupanku di sini berjalan biasa saja, tetapi penuh dengan renungan. Aku menjalani hidup yang santai, sesuai dengan apa yang kuinginkan. Di sini, aku lebih punya kendali atas hidupku. Tidak ada tuntutan, tidak ada ekspektasi, tidak ada suruhan, dan lain-lain. Aku hanya bersama diriku sendiri—berjalan kaki membeli sarapan di pagi hari, tidur sebanyak yang kumau, menonton film di kamar kos, berjalan-jalan sore.  

    Saat akhir pekan, kadang aku pergi ke kafe untuk mencoba makanan enak atau menjelajah kuliner Bandung. Di sini, aku juga menjalankan hobiku, berenang. Aku biasa berenang di Saraga ITB—kolam renang dengan ruang bilas yang banyak, bersih, tertata rapi, dan sangat nyaman untuk berolahraga. Ini adalah tempat yang sempurna untuk menyembuhkan diri.  

    Aku suka udara di sini. Aku suka orang-orang di sini. Aku suka momen-momen yang kualami di sini. Semua terasa ringan. Tidak ada lagi beban yang harus kupikul. Aku hanya menjadi diriku sendiri—menjalani hidup dengan tenang, biasa, dan sesuai dengan keinginanku.  

    Terima kasih, Bandung. Sekarang, diriku sudah kembali.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertemuan Singkat

Menyukai Budaya

Tanpa Sadar, Menerangi