Bahasa Tanpa Tubuh
Hening malam itu membuat saya tertegun dan diam.
Dengan ponsel genggam yang ada digenggaman tangan saya, saya diam sejenak
sembari berfikir. Apakah dia akan menolong saya ? ucap saya dalam hati dengan
melihat ponsel saya. Bukan seseorang yang saya tuju, melainkan dengan ponsel
itu saya berbicara. Dengan saya menunduk ringkuk seperti ini menjadi budak social
media apakah ini berguna bagi diri saya? Kata saya. Lalu mata saya menatap
kearah lain, setumpuk kertas yang sudah terjilid yang ada diatas rak meja
belajar, tidak lain itu adalah kertas usang yang jarang terbaca yang sering
mereka sebut “Buku”. Lalu saya mengalami konflik batin, dengan membandingkan
ponsel dan buku, siapa diantara mereka yang akan menolong saya.
Kemudian saya menuju lebih dalam dan
lebih dalam lagi masuk kedalam fikiran saya sendiri, terdengar seperti pesulap
yang menghipnotis penontonnya, bukan? Tapi ini sesuatu yang berbeda, saya
mencoba memahami sesuatu hal yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan saya.
Saya ingat, seorang teman pernah berkata “saya membaca buku bukan karena saya
ingin, tapi karena saya butuh” kata itu yang membuat saya berfikir bahwa
sesungguhnya, buku lah yang akan menolong saya dalam kebodohan dalam
ketersesatan. Saya membutuhkan ia untuk menjadi penerang jalan dalam jalan
pikir yang gelap.
Buku adalah Bahasa Tanpa Tubuh, saya
dan buku adalah sesuatu yang berkaitan. Karena kita adalah sebuah keselarasan,
saya butuh baca dan buku butuh saya baca. Kita adalah dua hal yang apabila
disatukan akan menjadi luar biasa, dibalik sebuah buku ada pikiran dan gagasan
yang luar biasa dari seorang penulis yang akan disampaikan kepada pembaca. Yang
terdapat Bahasa tanpa tubuh disana, Bahasa yang akan mengantarkan pada sebuah
pengetahuan. Pengetahuan tentang semua yang ingin saya ketahui. Buku akan
selalu menjadi penolong dalam ketidaktahuan, saat membaca buku kita akan
berkomunikasi dengan batin secara non verbal, yang membawa pikiran kita kemana
mana diantarkan oleh Bahasa yang kita baca, kita bahkan bisa berimajinasi,
pikiran kita yang dominan suka memikirkan hal yang diluar batas pemikiran kita
sendiri. Luar biasa, bukan?
Setelah saya menyadari itu, saya
kembali menatap diri saya sendiri dari dalam batin saya, diatas kursi tua yang
saya duduki malam itu saya meletak kan ponsel genggam yang saya rasa membawa
pengaruh baik yang tidak banyak. Saya menyadari bahwa saya ternyata butuh buku.
Saya butuh Bahasa yang tanpa tubuh. Tanpa pengetahuan, jari jemari saya bisa
menyesatkan saya dalam euphoria nafsu yang menggebu gebu dalam mencari
pengakuan- dan ketenaran. Dengan menyebarkan berita berita yang tidak benar
karena kebodohan saya menjadi budak sok tau yang di perbudak social
media. Saya bisa menjadi orang yang tersesat dan bodoh dalam fikiran saya
sendiri, saat saya tidak bisa meninggalkan ponsel genggam dan menjadi budak
yang candu dalam kesemuan. Membaca berita hoax waktu itu, sebelum saya
sadar dan di butakan oleh realita bahwa buku lah sesungguhnya sumber yang
benar. Sumber yang memberi saya pengetahuan yang sebenar benarnya. Yang tidak
menyesatkan. Dan ditulis oleh orang orang hebat dan sadar akan pengetahuan.
Seperti cahaya yang menerangi jalan
pikir yang gelap; adalah penjelasan sederhana betapa bergantungnya kita pada
sebuah pengetahuan, pengetahuan yang bisa kita dapat dari Bahasa tanpa tubuh
atau buku. Berjuta kata yang dituliskan pada sebuah kertas yang terjilid akan
mengisi menerangi pikiran kita yang semula gelap. Kemudian perlahan jika
disadari Lorong itu akan semakin dan semakin terang. Saat kita sadar bahwa
pikiran kita sudah mulai terang, Hasrat untuk menerangi pikiran yang lain akan
muncul. Kehadiran kita secara tidak langsung akan menjadi manfaat untuk orang
lain saat kita membagikan apa yang kita ketahui. Karena itulah sebenarnya inti
dari membaca buku, ketika kita sudah bisa memberi manfaat untuk orang lain
disekitar kita.
Ada hal yang kemudian saya sadari.
Konflik batin itu memberikan jawaban pada kegelisahan saya selama ini, yang
membawa saya pada sesuatu yang membuat saya menjadi manusia melankolis. Manusia
yang terobang ambing oleh keinginan. Jari jemari yang tidak terpelajar, dan
Hasrat panjat sosial yang tinggi. Membuat saya terlihat sangat bodoh, ternyata.
Sebelum saya membaca buku kehidupan saya berdasar pada pengetahuan yang saya
miliki. Pengetahuan yang masih sangat sedikit untuk menjalani kehidupan yang
rumit ini, tanpa bekal apapun tentu lah seseorang akan tersesat. Sama seperti
sosok saya dahulu. Selalu melakukan hal sembrono yang menurut saya
benar. Padahal itu tidak benar. Itulah yang membuat kita tersesat. Merasa yang
kita pikirkan adalah hal yang benar, padahal belum tentu. Saya sadar, saya
harus lebih sering menela’ah lagi apa yang harus saya bagikan dan saya tulis.
Karena pengetahuan untuk orang lain tidak asal dibagikan saja, tentunya orang
yang berilmu akan paham. Bahwa kita manusia harus memberi keuntungan untuk
manusia yang lain, dan jika tidak bisa memberi keuntungan tidak kah kita lebih
baik diam? Benar kata pepatah yang mengatakan diam itu emas, iya benar. Saat
kita hanya memberikan kerugian untuk manusia yang lain maka memang sebaiknya
kita diam. Diam dan terus belajar, membaca, mencari pengetahuan baru untuk
mengisi pikiran yang kosong. Dan perlahan – lahan memaknai apa yang terjadi
dalam hidup. Apakah sudah selaras?
Kita harus selalu berperang dengan batin, menentukan
mana yang benar dan mana yang salah. Hal itu akan terus terjadi. Karena itulah
kehidupan yang sebenarnya. Untuk itu tidak kah kita harus menyiapkan senjata
agar kita bisa memerangi kebodohan diri kita sendiri? Apakah disadari bahwa
senjata senjata itu sudah tersusun rapi di rak perpustakaan? Senjata yang akan
menolong kita dalam ketersesatan, kebodohan, dan jari jemari yang tidak
terpelajar. Maknailah hal kecil yang terjadi dihidup kita, agar kita tahu apa
yang akan disampaikan oleh semesta. Sesungguhnya apabila kita bisa memaknai hal
kecil yang ada disekitar kita, kita akan mendapatkan hal besar dalam kehidupan.
Saya memaknai hal kecil yang terjadi
dalam hidup saya, konflik batin yang terjadi pada diri saya ternyata membuat
saya sadar dalam menentukan apa yang saya butuhkan dan apa yang saya inginkan.
Kita tidak harus selalu menuruti apa yang menjadi keinginan kita, karena kita
akan tenggelam dalam kepuasan, dan akan terus tenggelam lebih dalam sehingga
kita terbunuh oleh diri kita sendiri. Tersesat dalam dunia semu dan
ketidaktahuan Satu dari sekian yang kita butuhkan adalah sebuah buku. Buku yang
bermakna besar, bukan hanya sebuah tulisan diatas kertas yang terjilid.
Melainkan buku adalah Bahasa Tanpa Tubuh yang akan menolong kita dalam pikiran
yang gelap.
-
Cerpen Karya Bella
Syafira
Komentar
Posting Komentar